BincangSyariah.Com – Sebagaimana kita ketahui, perzinaan merupakan hal yang sangat dibenci dalam syariat Islam. Jangankan melakukannya, bahkan mendekatinya pun tidak diperbolehkan. Ada ancaman hukuman di dunia yang sangat berat bagi pelaku zina, yakni dirajam hingga mati atau dicambuk 100 kali dan diusir selama setahun. Nyatanya, bukan hanya zina saja yang diancam hukuman berat dalam syariat Islam. Menuduh orang lain berzina pun mendapatkan ancaman hukuman yang sama besarnya. Dalam kitab-kitab fiqih, menuduh orang lain berbuat zina diistilahkan sebagai qadf, yang definisinya sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib (Surabaya: Kharisma, 2000), hal. 282 ialah:
فصل في بيان أحكام القذف. وهو لغةً الرمي، وشرعًا الرمي بالزنا على جهة التعيير لتخرج الشهادة بالزنا Artinya: “Pasal penjelasan tentang hukum al-qadf. Secara bahasa (qadf) bermakna ‘menuduh’. Secara syariat bermakna menuduh zina untuk tujuan mempermalukan agar keluar persaksian zina”. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketika seseorang menuduh orang lain berbuat zina, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban atas tuduhannya tersebut. Dia harus mampu menghadirkan empat orang saksi laki-laki (satu diantaranya adalah dirinya) yang sama-sama menyaksikan tertuduh melakukan tindakan zina yakni memasukkan alat kelamin lelaki ke dalam alat kelamin perempuan, dengan melihat secara langsung (mata telanjang) tanpa terhalang apapun. Persaksian keempatnya harus seragam. Apabila penuduh tidak mampu menghadirkan saksi dengan ketentuan di atas, maka keadaan justru terbalik, si penuduh akan diancam hukuman hadd qadf, yakni dicambuk sebanyak 80 kali. Hukuman ini tidak berlaku apabila si penuduh adalah suami tertuduh yang telah bersumpah li’an. Di antara pernyataan yang masuk dalam kategori sebagai tuduhan zina sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Sulaiman al-Azhari, penulis kitab Hasyiyah al-Jamal, ialah ketika seseorang berkata pada orang lain: “engkau berzina”, atau “hai pezina”, atau “kelaminmu berzina”, atau “engkau memasukkan kelaminmu pada kelamin yang haram”, atau ia berkata pada seorang anak: “Engkau bukan anak si fulan”, atau “engkau anak zina”, dan lain sebagainya. Tanpa kita sadari ataupun dengan kesadaran, seringkali kita menggunjingkan orang lain sambil menyelipkan tuduhan-tuduhan bahwa seseorang telah berzina. Parahnya, justru biasanya topik gosip semacam inilah yang disukai oleh kita. Tidak jarang kita menyebut si anak itu anak haram, kecelakaan duluan dan lainnya padahal kita tidak punya cukup bukti yang memperkuat pernyataan kita, tidak juga punya saksi yang menyaksikan perbuatan tersebut. Hanya isu dari mulut ke mulut. Padahal kalau seorang bayi lahir enam bulan sesudah akad nikah, maka sudah tentu itu legal secara fikih, karena fikih menganggap paling sedikitnya masa kehamilan ialah enam bulan. Perlu menjadi perhatian bagi kita bahwa tuduhan zina ini merupakan tindak kriminal pencemaran nama baik, yang meskipun di Indonesia ini tidak ada hukum pasti tentang hukuman bagi seseorang yang menuduh zina, namun tentu saja dosanya masih tersisa dan tidak akan lebur sampai yang kita tuduh memberikan maafnya. Ke depan, perlu rasanya kita menjaga ucapan kita agar tidak lagi saling menuduh khususnya menuduh zina karena selain menyakitkan, syariat pun mengancamnya dengan ancaman yang tidak main-main Tulisan ini pernah dipublikasikan di Islami.co
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berzina termasuk salah satu dosa besar yang memiliki hukuman had. Konsekuensi hukumannya tidak main-main. Jika pelaku zina sudah menikah, hukuman rajam menjadi ancamannya. Beratnya hukuman zina membuat tuduhan terhadap perbuatan ini termasuk dalam tudingan yang serius. Zina selain berdampak pada dosa seorang hamba, juga berdampak secara sosial. Seseorang yang berzina akan dianggap lingkungan sebagai orang yang harus dijauhi. Perbuatan zina juga bisa menimbulkan berbagai rentetan masalah sosial lainnya. Zina bisa menghancurkan sebuah rumah tangga, lahirnya anak hasil zina, hilangnya nasab, dan tercemarnya nama baik keluarga. Karena itu, dibandingkan tuduhan kejahatan dan pelanggaran lainnya, tuduhan zina adalah sesuatu yang berat. Seseorang yang menuduh zina orang lain mesti mengajukan bukti-bukti yang kuat dan cukup berbelit. Pada zaman Rasulullah SAW, belum pernah didapati seorang hakim mengadili perbuatan zina. Yang ada hanya pengakuan langsung dari pelaku yang minta untuk diberlakukan hukuman zina terhadap dirinya. Islam sangat menghargai privasi seseorang. Aib pada dasarnya harus dijaga. Tidak diperkenankan menyebarluaskan aib orang lain. Kecuali memang diungkapkan dalam peradilan demi tegaknya hukum. Apalagi, perbuatan zina cenderung dilakukan secara tertutup sehingga amat sulit pembuktiannya. Seperti halnya zina yang dosanya amat serius, menuding zina juga perbuatan yang serius pula. Jika tidak terbukti, tuduhan itu justru berbalik kepada yang menuduh. Hukuman karena menuding zina sembarangan juga siap menunggu. Islam datang dengan menjunjung tinggi kehormatan seseorang. Maka tak heran, tudingan zina harus memenuhi beberapa syarat dan tingkatan yang cukup banyak. Menuduh zina dalam bahasa syariat dinamakan dengan qazaf. Secara pengertian, qazaf bermakna melemparkan tuduhan zina kepada orang lain yang baik lagi suci atau menafikan keturunannya. Qazaf berpotensi melahirkan hukum had bagi yang dituduh jika terbukti atau bagi penuduh jika mengada-ada. Jika ia hanya menuduh seseorang lain mencuri, minum arak, murtad, termasuk juga mencaci yang bisa menjatuhkan kehormatan kemudian tidak terbukti, ia hanya dikenakan hukuman takzir. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang melemparkan tuduhan zina kepada perempuan-perempuan yang terpelihara kehormatannya, kemudian mereka tidak membawa empat orang saksi, maka cambuklah mereka dengan 80 kali cambukan dan janganlah kamu menerima penyaksiannya itu selama-lamanya, karena mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS an-Nur [24]:4) Amat berat konsekuensi dan langkah yang harus dilakukan orang yang melakukan qazaf. Ia harus memenuhi syarat yang diterima persaksiannya. Kemudian, ia harus membawa empat saksi yang memiliki prasyarat spesifik. Jika gagal membuktikan tuduhannya, justru sang penuduh harus diberikan hukuman had cambuk sebanyak 80 kali. Selain itu, persaksiannya di masa depan tidak akan diterima karena cacat yang pernah ia lakukan. Beberapa syarat yang harus dipenuhi orang yang melakukann qazaf adalah berakal, baligh, dan tidak terpaksa. Artinya, tuduhan orang gila atau anak kecil tidak dapat diterima. Sementara orang yang dituduh juga mesti memiliki beberapa syarat. Di antaranya beragama Islam, baligh, berakal, merdeka, dan menjaga diri dari zina. Menurut ulama, ada tiga cara yang bisa dilakukan dalam qazaf. Pertama tuduhan secara jelas (sharih), yakni menyebutkan tuduhan dengan perkataan yang jelas jika ia menuding seseorang melakukan zina. Ia paham konsekuensi dari tuduhannya tersebut. Kedua, secara kinayah atau kiasan. Tuduhannya dengan menggunakan perkataan yang tidak langsung bermakna menuding zina. Namun, bisa diartikan jika ucapannya tersebut adalah tudingan seseorang melakukan perbuatan zina. Ketiga dengan sindiran (ta'ridh). Dengan ucapan yang amat bias yang belum tentu menuding seseorang melakukan zina. Jika niatnya adalah menuding zina, hukum qazaf bisa diberlakukan. Namun, jika niatnya tidak menuding zina, hukumannya cukup takzir. Soal empat orang saksi dalam tudingan zina juga memiliki syarat yang cukup detail. Saksi tersebut harus memenuhi kriteria, laki-laki, baligh, berakal, adil, beragama Islam. Kemudian keempatnya haruslah melihat perbuatan zina dengan mata kepala sendiri dan dalam waktu dan tempat yang sama. Keterangan saksi haruslah jelas. Salah satu hikmah di balik keharusan ada empat orang saksi dalam kasus tuduhan zina adalah beratnya dosa menuduh zina. Serta, kewajiban untuk berhusnuzan dan menutupi aib orang lain dalam sistem masyarakat Islam. Sebab, bila tuduhan itu benar benar-benar bisa dibuktikan, ancaman hukumannya juga tidak main-main, yaitu penghilangan nyawa kedua pelakunya. Hukuman cambuk 100 kali di depan umum dan diasingkan selama setahun bila pelaku zina itu belum pernah menikah sebelumnya. n Kutipan: Secara pengertian, qazaf bermakna melemparkan tuduhan zina kepada orang lain yang baik lagi suci atau menafikan keturunannya. Disarikan dari Dialog JUmat Republika
Anshari, Hafiz, AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1990 Azizy, Dr. A. Qadri, MA. Melawan Globalilasi : Reinterpreetasi Ajaran Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, 2003. --------------, Islam dan Permasalahan Sosial : Mencari jalan Keluar, Yogyakarta : LKIS, 2000. Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif : Madinah Munawwarah, 1426 H. Departemen Agama RI, Pembinaan Keluarga Sakinah, Proyek Peningkatan Keluarga Sakinah : Jakarta, 2000 Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, Jakarta : Ictra Baru van Hoeve, 2000. Fa'iz, Ahmad, Cita Keluarga Islam, Terjemahan, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2002. Al-Ghifari, Abu, Kisah Pilu Seputar Selingkuh, Cetakan Kedua, Bandung : Mujahid, 2004. Hamidi, H. Zainuddin, dkk. Terjemah Shahih Bukhari, Jilid III. Jakarta : Wijaya. 1981. Hassan, A., Terjemah Bulughul Maram, Bangil : Pustaka Tamam, 1991. Al-Hasyimiy, As-Sayyid Ahmad, Muhtarul Ahadits, Hikamil Muhammadiyah, Terjemahan oleh Hadiyah Salim, Bandung : Al-Ma'rif, cetakan ke 5, 1994. Hamidy, Mu'ammal, dkk. Terjemahan Nailul Authar: Himpunan Hadits-hadits Hukum, Surabaya : Bina Ilmu, 1993. Hidayat Prof. Dr. Komaruddin, Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern, dalam Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, M. Amin Akas dan Hassan M. Noer, Ed, Jakarta : Mediacita, 2000. Kamali, Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, Terjemahan oleh Noorhaidi, S.Ag. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996. Madjid, Nurcholis. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Mediacita : Jakarta. 2000 Madjid, Prof. Dr. Nurcholis, Atas nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, Jakarta : Paramadina, 2002. Mas'udi, Masdar F., Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan : Dialog Fikih Pemberdayaan, Bandung: Mizan, Cetakan II, 1997. Muthahhari, Murtadha, Hak-hak Wanita dalam Islam. Lentera Basritama : Jakarta, 1995 As-Shiddiqie, Hasbi. 2002 Mutiara Hadits VI-VII. Bulan Bintang : Jakarta, 1979 Nasihif, Syekh Mansur Ali, Tajul Jami li Ushul fi Ahadisir Rasul, Terjemahan oleh Bahrun Abu Bakar Lc., Bandung : Sinar Baru Algensindo, Jilid 3, 1994. Shaleh, KH. Qamaruddin., dkk. Asbabun Nuzul, Cetakan Kedua, Bandung : Diponegoro, tt. Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad : Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta : Ciputat Press, 2002. |