Analisis tentang Hubungan ISI peraturan perundangan tentang Pajak dengan undang-undang Dasar 1945

Seperti halnya negara demokrasi yang menyebutkan bahwa pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, begitu pula dengan pajak. Bisa dikatakan bahwa pajak berasal dari, oleh dan untuk rakyat sendiri. Maksud dari hal tersebut yaitu penghasilan atau anggaran dana suatu negara berasal dari rakyat yang dilakukan melalui pemungutan pajak atau berasal dari kekayaan alam yang terdapat dalam negara tersebut yang harus dibayar oleh rakyat atau bisa juga disebut sebagai peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara yang digunakan untuk membiayai kepentingan pemerintah dan kesejahteraan rakyat umum.

Di Indonesia pajak merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh setiap warga negara yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif untuk membayar pajak. Kewajiban membayar pajak sendiri tercantum dalam pasal 23 A UUD 1945 yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Selain itu di Indonesia pajak memiliki posisi yang paling penting, selain untuk membiayai kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, pajak merupakan penopang terbesar APBN di negara Indonesia. Dalam postur APBN 2018, pendapatan negara di proyeksikan sebesar 1.894,7 triliun rupiah dengan rincian penerimaan dari pajak sebesar 1.618,1 triliun rupiah, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 275,4 triliun rupiah, dan hibah sebesar 1,2 tririlun rupiah. (Wikipedia.com). Besarnya target penerimaan negara dari sektor pajak, menjadikan apapun yang ada di Indonesia dijadikan objek pajak, seperti pajak kendaraan, pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai, pajak saat berbelanja dan yang terbaru saat ini yaitu pemerintah mulai menargetkan para pengguna media sosial seperti youtuber dan selebgram sebagai objek pajak. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menkeu 210/PMK 010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (Suara.com).

Seperti sebuah slogan yang mengatakan bahwa “Warga bijak taat bayar pajak”. Ini adalah sebuah slogan yang seringkali terdengar di kalangan masyarakat umum, dimana slogan ini selalu dikampanyekan secara masif oleh pemerintah baik melalui media cetak maupun media elektronik. Tujuannya yaitu agar masyarakat bisa taat membayar pajak, karena pajak merupakan salah satu sumber penerimaan keuangan negara selain dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah baik dalam maupun luar negeri yang digunakan untuk membiayai pembangunan.

Upaya pemerintah yang mendorong masyarakat untuk membayar pajak dengan menekankan bahwa tanpa pajak, pembangunan tidak akan berjalan, dan jika pembangunan tidak berjalan maka pemerintah tentu tidak bisa mensejahterakan rakyat justru tidak berbanding lurus dengan fakta yang ada. Jadi dengan tidak membayar pajak maka pembangunan di Indonesia tidak akan berjalan dengan baik. Apalagi, di Indonesia pembangunannya masih sangat minim dibandingkan dengan negara lain.

Namun saat ini banyaknya masyarakat yang belum taat membayar pajak disebabkan karena minimnya informasi masyarakat mengenai manfaat dari pajak itu sendiri. Adapun manfaat dari adanya pajak bagi negara yaitu: Membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, seperti: pengeluaran yang bersifat self liquiditing. Contohnya: pengeluaran untuk proyek produktif barang ekspor. Membiayai pengeluaran reproduktif, seperti: pengeluaran yang memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat. Contohnya: pengeluaran untuk pengairan dan pertanian. Membiayai pengeluaran yang bersifat tidak self liquiditing dan tidak reproduktif. Contohnya: pengeluaran untuk pendirian monument dan objek rekreasi. Membiayai pengeluaran yang tidak produktif. Contohnya: pengeluaran untuk membiayai pertahanan negara atau perang dan pengeluaran untuk penghematan di masa yang akan datang yaitu pengeluaran untuk anak yatim piatu. Jadi dengan taat membayar pajak manfaat yang bisa masyarakat terima yaitu: Fasilitas umum dan infrastruktur, seperti: jalan raya, jembatan, sekolah dan rumah sakit, Pertahanan dan keamanan, seperti: bangunan, senjata, perumahan hingga gaji karyawan, Subsidi pangan dan bahan bakar minyak, Kelestarian lingkungan hidup dan budaya, Dana pemilu, Pengembangan alat transportasi massa dan lain-lain.

Mulai sekarang sebagai warga negara Indonesia agar taat membayar pajak, karena manfaatnya akan sangat berguna bagi semua masyarakat. Selain itu juga agar bisa membuat Indonesia menjadi lebih maju dari sekarang dengan membayar kewajiban yaitu bayar pajak. Karena ciri-ciri negara maju adalah jika kesadaran masyarakat membayar pajak tinggi. Jadi bisa disimpulkan bahwa pajak tersebut berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk kepentingan rakyat sendiri dan juga pemerintah.

Disclaimer:

Artikel ini merupakan karya peserta pelatihan simulasi pajak hasil kerjasama Politeknik Negeri Bali dengan PT Mitra Pajakku. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. 

Informasi ini BUKAN merupakan saran atau konsultasi perpajakan. Segala aturan yang terkutip dalam artikel ini sangat mungkin ada pembaharuan dari otoritas terkait. Pajakku tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul akibat adanya keterlambatan atau kesalahan dalam memperbarui informasi dalam artikel ini. 

Darussalam,
Managing Partner DDTC

PASAL 23A UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 (selanjutnya akan disebut UU KUP) mendefinisikan pajak sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari sudut pandang kesepakatan antara otoritas pajak yang menjalankan fungsi pemungutan dan wajib pajak sebagai pihak yang dikenakan pajak, sebagaimana tertuang dalam Penjelasan atas UU KUP tahun 1983, menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam bidang kenegaraan.

Disisi lain, dalam suatu negara yang mengakui adanya hak milik pribadi, pajak dipandang sebagai pengambilan sebagian harta milik rakyat oleh negara. Indonesia, berdasarkan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, mengakui adanya hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Dengan demikian, berdasarkan Pasal 23A dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, pajak hendaknya tidak hanya dipandang sebagai kewajiban kenegaraan saja, tetapi juga dipandang sebagai pengambilan sebagian harta oleh negara yang tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang.

Lantas, apa yang menjadi ukurannya agar pajak sebagai kewajiban kenegaraan tidak dikenakan secara sewenang-wenang?

Pasal 23A UUD 1945 dan UU KUP telah menyatakan secara tegas bahwa ukurannya adalah harus diatur dan berdasarkan undang-undang serta ketentuan turunannya yang harus sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tentu juga, prinsip pemungutan pajak harus tetap berdasarkan kepastian dan keadilan.

Prinsip pajak harus diatur dan berdasarkan undang-undang telah lama dikumandangkan. Salah satunya oleh seorang pejuang pra Revolusi Amerika yaitu James Ostis, sebagaimana dikutip oleh Tibor R. Machan (2008), apabila pajak dikenakan diluar yang diatur atau tidak berdasarkan undang-undang adalah suatu bentuk kesewenangan (Taxation without representation is tyranny).

Terkait dengan dua pendekatan dalam memandang pajak, maka diperlukan pihak ketiga yang independen dan berperan sebagai badan peradilan pajak yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk:

  1. Memastikan berapa jumlah pajak yang memang menjadi hak negara, dan
  2. Melindungi hak wajib pajak agar tidak dikenakan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Atau dengan kata lain “the right to pay no more than correct amount of tax (Duncant Bentley, 2007).

Siapa yang dimaksud dengan badan peradilan pajak di atas? Yaitu, Pengadilan Pajak yang berperan sebagai badan peradilan pajak yang menjalankan fungsi kehakiman. Hal ini didasarkan atas Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya yaitu (i) peradilan umum, (ii) peradilan agama, (iii) peradilan militer, dan (iv) peradilan tata usaha negara, serta sebuah Mahkamah Konstitusi.

Lebih lanjut, Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa pengadilan khusus dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan. Penjelasan Pasal 15 ayat (1) tersebut mengatakan bahwa pengadilan khusus dalam ketentuan ini antara lain Pengadilan Pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara. Selain itu, keberadaan Pengadilan Pajak itu sendiri juga didasarkan amanat Pasal 27 UU KUP.

Berdasarkan uraian di atas dan bunyi Pasal 2 UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, hakekat dari keberadaan Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.